Hari ini aku Tiba-tiba terisak.
Entah
mengapa. Aku sedih sekali hari ini. Kini aku sudah menikah selama lebih
dari 10 tahun. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari
ini. Seharusnya Aku berhak punya suami yang sudah mapan, yang bisa
mengantarku ke mana-mana dengan mobil bagus. Bisa membelikan aku baju2
dan perhiasan, bisa mengajakku menginap di sebuah resort . Bukannya aku
yang harus bingung mengelola uang untuk segala kebutuhan sehari-hari,
karena memang penghasilan suamiku tidak begitu besar. Sampai kapan aku
mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.
"De...
Ade kenapa?" tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir. Aku
menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat
menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah
jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara
bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.
"Selamat
ulang tahun ya De'..." bisiknya lirih. "Sebenernya aku mau bangunin
kamu semalam, dan ngasih kado ini... tapi kamu capek banget ya? Ucapnya
takut-takut.Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah
jambu itu. Dari mana dia belajar membungkus kado seperti ini? Batinku
sedikit terhibur. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat
matanya. Ada air yang menggenang.
"Maaf ya De, aku cuma bisa ngasih ini. .. Nggak bagus ya De?" ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.
Kubuka
secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna
favoritku. Sebuah jam tangan sederhana berwarna putih keperakan. Segala
kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana.
Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.
"Jelek
ya de'? Maaf ya de'... aku nggak bisa ngasih apa-apa.... Aku belum bisa
nafkahin kamu sepenuhnya. Aku belum mampu membahagiakan kamu dan
anak-2, Maafin aku ya de'..." desahnya.
Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk jam tangan ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya.
Aku
rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan
wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir.
Rabbi... mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu dari
materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku pertanyakan.
"A'
lihat aku...," pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga
bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu
menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyebabkan dia tidak mampu
menunjukkan kasih sayangnya secara nyata kepada istri dan anak-2nya
selama ini. Hal itu
pula yang menyeret dayanya untuk bisa membahagiakan
aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan itu. "Tahu
nggak... kamu ngasih aku banyaaaak banget," bisikku di antara isakan.
"Kamu
ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian.
Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu sudah ngasih aku
anak-2 yang ganteng dan cantik-2 serta pintar.'," senyumku sambil
berusaha menahan tangis. "Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang
sama aku, kamu ngasih aku mama...." bisikku dalam cekat. Terbayang wajah
mama mertuaku yang perhatiannya sangat besar padaku.
Rabbana...
mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat mata,
tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak
dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi,
kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas. Harta
yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia.
Mengapa
aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan
nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan
untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat
kami baru menikah...
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
By: www.kembanganggrek2.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar