Senin, 17 Maret 2014

Jilbabku Terasing, Jilbabku Berbuah Kebahagiaan (1)

Saat awal jilbab mulai berkibar di kampus ….

Kumpulan cerita penuh kenangan yang kadang kita dengar dari sahabat, teman, handai taulan. Atau bisa jadi kitalah bagian dari sejarah itu.

Apalagi pada saat era tahun 80-an, ketika busana muslimah dengan standar syar’i belum banyak dikenal oleh kaum muslimin di negeri ini.

Alhamdulillah seiring dengan berkembangnya dakwah sunnah yang ketika itu diusung oleh para pemuda Islam yang baru pulang dari menuntut ilmu di Timur Tengah, satu per satu muslimah mulai tersentuh dengan ayat-ayat hijab yang disampaikan. Fitrah wanitanya segera terpanggil. berbekal uang kiriman bulanan dari orang tua, mereka sisihkan sedikit demi sedikit. Akhirnya, dengan izin Allah terbelilah busana muslimah.



Semangat melaksanakan perintah Allah mereka imbangi dengan terus menerus mengikuti taklim secara rutin di sela-sela waktu kuliahnya, guna menyuburkan hati dan menguatkan keimanan kepada Allah. Ukhuwah di antara mereka pun terajut dengan indah, saling menguatkan, saling menghibur, saling mengingatkan, dan saling menasihati. Celaan, makian, hingga tuduhan – yang kadang membuat hati perih – menjadi filter keimanan mereka.

Jujur iman terbukti dengan ujian

Demikianlah sunnatullah yang berlaku untuk hamba-Nya, kejujuran imannya harus dibuktikan dengan ujian yang dihadapinya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia menyangka mereka dibiarkan untuk berkata ‘kami telah beriman’ padahal mereka belum diuji. Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka maka Allah telah mengetahui siapa saja yang jujur dan siapa saja yang dusta (dalam imannya).” (QS. Al-Ankabut:2—3)

وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Agar Allah menguji sesuatu yang ada dalam dada kalian dan melihat yang ada di hati kalian.” (QS. Ali Imran:154)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa cobaan sesuai dengan kadar keimanan seseorang. Dalam hadits dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallallah ‘anhu, dia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling keras ujiannya?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئةِ

“(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para Nabi, kemudian yang di bawahnya dan yang di bawahnya. Setiap manusia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia bisa berjalan di atas permukaan bumi tanpa mempunyai satu dosa pun.” (HR. At-Tirmidzi, 4:601–602; beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih”; Ibnu Majah, 2:1334; Ahmad, 1:172,174,180,185; dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani di Silsilah Shahihah, 1:66 dan Shahih Ibnu Majah, 2:371)

Keterasingan berbuah kebahagiaan

Seiring dengan keterasingan dalam berjilbab, bersama itu pula kebahagiaan mereka reguk di relung-relung hati mereka.

Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan berita gembira – pada 14 abad yang silam – bagi siapa saja yang hendak menghidupkan sunnahnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim, no. 208)

Dari Abdurrahman bin San’ah radhiyallahu ‘anhu; dia berkata,

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

“Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang asing itu?’ Beliau menjawab, ‘Orang-orang yang baik ketika manusia telah rusak.’” (HR. Ahmad, 13:400; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’, no. 7368)

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu; dia berkata, ”Pada suatu hari kami duduk di sebelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, ‘Berbahagialah orang-orang yang asing.’ Dikatakan kepada beliau, ‘Siapa mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Manusia yang shalih di lingkungan manusia yang jahat. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak dibandingkan orang yang menaati mereka.’” (HR. Ahmad, 2:177, no. 6650; Ath-Thabrani, 10:259; Al-Ajuri di Al-Ghuraba’, hlm. 22; Syu’aib Al-Arna’uth, “Hadits hasan li ghairih.”)

Diciptakannya keburukan dan kejahatan untuk menambah pahala bagi seorang mukmin, sekaligus sebagai peningkat derajatnya di sisi Allah. Keterasingan — yang dirasakan seorang muslimah yang berusaha membalut dirinya dengan hijab syar’i di tengah masyarakat yang mengumbar aurat dan bergaul bebas dengan lawan jenis — akan menambah besar pahala yang akan diraihnya. Mengapa demikian? Karena Allah menilai ibadah seorang hamba dengan besar atau kecilnya usaha yang dilakukan dalam mewujudkanya. Semakin berat atau susah ibadah yang dilakukan, semakin besar pahalanya. Subhanallah ….

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan orang yang berpegang teguh dengan kebenaran pada zaman keterasingan dengan seorang yang sedang memegang bara api.

Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ الصَّبْرُ فِيهِ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهِمْ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِهِ. قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْهُمْ قَالَ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ

“Sesungguhnya di belakang kalian (ada hari yang) merupakan hari-hari kesabaran. Orang yang sabar pada hari itu bagaikan orang yang menggenggam bara api. Orang yang beramal tatkala itu memperoleh pahala lima puluh orang yang beramal seperti amalannya.” Aku berkata, ”Wahai Rasulullah, lima puluh dari mereka?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak, tapi lima puluh dari kalangan kalian.” (HR. Abu Daud, no. 3778; At-Tirmizi, no. 2984, dan Ibnu Majah, no. 4004)

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Madarijus Salikin, 3:199, “Pahala yang besar ini dikarenakan keterasingannya di antara manusia dan karena berpegang-teguhnya ia dengan sunnah di antara kegelapan hawa nafsu dan akal pikiran.”

Ketika bara di pegang, sangat panas terasa. Hingga kulit mengelupas dan keluarlah air mata karena pedihnya. Akan tetapi, ia harus tetap digenggam, sebab itu perintah dan itulah satu-satunya jalan keselamatan. Jika ia dilepas, berarti lepaslah agama. Bara itu tak boleh digenggam dengan tanggung-tanggung sebab dapat dipastikan akan menambah lama penderitaan dan kesengsaraan. Akan tetapi, ia harus digenggam erat, agar panasnya bara lenyap. Hingga yang tersisa hanya kebahagiaan menyongsong balasan dan pahala.

(*) Bersambung, insya Allah ….

-


Maraji’:

Taisir Karimir Rahman, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
Temui Aku di Telaga, karya Ustadz Armen Halim Naro.
artikel by: www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar