Senin, 17 Maret 2014

Janji Menjadi Pasangan Suami Istri Seumur Hidup

Salah satu janji yang diucapkan sebagian suami istri adalah janji untuk menjadi pasangan sehidup semati. Sang suami berpesan, jika dia mati lebih dulu, istri tidak boleh menikah lagi sampai menyusul suaminya. Sebaliknya, istri juga berpesan, jika dia mati lebih dulu, suami tidak boleh nikah lagi hingga dia menyusul istri. Bahkan semacam ini tidak hanya menjadi janji, tapi menjadi syarat nikah.

Bagaimana tinjauan hukumnya?

Pertama, Allah tegaskan dalam Al-Quran bahwa haram bagi kaum muslimin, untuk menikahi para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau meninggal.

وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا

”Kalian tidak boleh menyakiti perasaan Rasulullah, dan janganlah kalian menikahi istri-istrinya, setelah dia meninggal, selamanya. Sesungguhnya pernikahan semacam ini adalah masalah besar di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53).

Jilbabku Terasing, Jilbabku Berbuah Kebahagiaan (1)

Saat awal jilbab mulai berkibar di kampus ….

Kumpulan cerita penuh kenangan yang kadang kita dengar dari sahabat, teman, handai taulan. Atau bisa jadi kitalah bagian dari sejarah itu.

Apalagi pada saat era tahun 80-an, ketika busana muslimah dengan standar syar’i belum banyak dikenal oleh kaum muslimin di negeri ini.

Alhamdulillah seiring dengan berkembangnya dakwah sunnah yang ketika itu diusung oleh para pemuda Islam yang baru pulang dari menuntut ilmu di Timur Tengah, satu per satu muslimah mulai tersentuh dengan ayat-ayat hijab yang disampaikan. Fitrah wanitanya segera terpanggil. berbekal uang kiriman bulanan dari orang tua, mereka sisihkan sedikit demi sedikit. Akhirnya, dengan izin Allah terbelilah busana muslimah.

HADIST TENTANG KEDUDUKAN SEORANG IBU

Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya. Kakeknya berkata,
“Wahai Rasulullah! Kepada siapakah aku harus berbakti?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu aku bertanya, “Kepada siapakah aku harus berbakti?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu aku bertanya, “Kepada siapakah aku harus berbakti?”. Beliau menjawab, “Ibumu.” Lalu aku bertanya, “Kepada siapakah aku harus berbakti?”. Beliau menjawab, “Ayahmu. Kemudian kerabat yang terdekat dan seterusnya.” (HR. Tirmidzi, dinilai hasan al-Albani dalam al-Irwa’. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 34)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, ada seorang lelaki datang menemui dirinya dan menceritakan,
“Suatu ketika aku melamar seorang perempuan, akan tetapi dia tidak mau menikah denganku. Lalu ada orang selainku yang melamarnya dan dia pun mau menikah dengannya. Aku merasa cemburu kepadanya, hingga aku pun membunuhnya. Apakah aku masih bisa bertaubat?”. Beliau -Ibnu Abbas- bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”. Dia menjawab, “Tidak.” Lalu Ibnu Abbas mengatakan, “Kalau begitu bertaubatlah kepada Allah ‘azza wa jalla dan dekatkanlah dirimu kepada-Nya sekuat kemampuanmu.” ‘Atha’ bin Yasar berkata: Aku menemui Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya, “Mengapa engkau bertanya tentang apakah ibunya masih hidup?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang lebih mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla daripada berbakti kepada seorang ibu.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinilai sahih al-Albani dalam ash-Shahihah, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 34)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan:
Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin ikut berjihad. Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”. Dia menjawab, “Iya.” Maka beliau bersabda, “Kalau begitu berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam al-Irwa’, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 39)

Dari Abu ‘Amr asy-Syaibani, dia berkata:
Pemilik rumah ini -beliau mengisyaratkan dengan tangan menunjuk rumah Abdullah (Ibnu Mas’ud)- menuturkan kepadaku. Beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amalan apakah yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla?”. Beliau menjawab, “Sholat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”. Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” Beliau -Ibnu Mas’ud- berkata, “Beliau menuturkan itu semua kepadaku. Seandainya aku meminta tambahan niscaya beliau akan menambahkan.” (HR. Bukhari dan Muslim, dinilai sahih al-Albani dalam al-Irwa’. Lihat Shahih al-Adab al-Mufrad, hal. 33)

EFEK BURUK TIDUR DI PAGI HARI


Di zaman yang serba teknologi ini, manusia tidak dapat lepas dari yang namanya GADGET, baik itu Laptop, Tablet, Smartphone atau yang lainnya. sebenarnya tidur setelah Adzan Subuh atau di pagi hari itu membawa dampak negatif terhadap Tubuh, dan di BENCI oleh Rasulullah SAW.

Berikut adalah beberapa Dampak Negatifnya :

1. Masalah metabolisme
Jika Saudara tidur terlalu lama, tubuh tidak akan berfungsi sesuai ritmenya. Anda akan merasa lapar dalam jangka waktu lama dan hal ini mempengaruhi kecepatan metabolisme. Hal ini akan membuat bobot tubuh meningkat.

2. Lesu
Tidur berlebihan akan membuat Saudara merasa lesu karena metabolisme Saudara masih bekerja dalam ‘set’ malam hari. Tubuh membutuhkan waktu lebih lama untuk memulai sistem dan tidak dapat berfungsi normal. Jika Saudara benar-benar ingin tidur sedikit lebih lama, usahakan jangan lebih dari tiga puluh menit.

Pengorbanan Seorang Suami


Bagi seorang istri suami adalah seorang raja yang harus dihormati, bahkan Rasulullah salallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka" [HR Abu Dawud, 2142. At-Tirmidzi, 1192; dan Ibnu Majah 1925. Dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa`ul-Ghalil, 7/54].

Sungguh besarnya hak seorang suami yang harus dipenuhi oleh sang istri, bahkan seorang suami penentu masuk surgan atau nerakanya seorang istri. Rasululloh sahallallahu'alaihi wa sallam bertanya kepada bibi Al Hushain:“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933).